(An-najah) – Hingga saat ini, rupanya masih ada
segelintir orang yang menyatakan bahwa berjihad dengan mengangkat
senjata dalam rangka menentang penjajahan yang dipelopori kaum kafir
seperti yang terjadi di Suriah, Irak, Palestina, Checnya dan
negara-negara lainnya adalah Khawarij, teroris, matinya konyol,
ruwaibidhah, dungu, anak ingusan dan berbagai label negatif lainnya.
Ironisnya, kata-kata itu justru keluar dari kalangan yang menisbatkan
dirinya kepada ‘Ahli Sunnah’. Salah seorang dari kalangan tersebut
dengan terang-terangan menyatakan bahwa Ibnu Ladin lebih berbahaya dari
pada Benyamin Netanyahu seorang tokoh Yahudi. Hal ini diucapkan ketika
Netanyahu menjadi PM Israil.
Untuk mendudukan masalah tersebut alangkah bijaknya jika kita
merenungkan pernyataan sahabat Rasulullah saw yang bernama Umar bin
Khattab.
Sebelum lebih jauh membahas pernyataannya radhiallahu ’anhu, tidak
ada salahnya kita sejenak membahas sebagian permasalahan yang terkait
dengan sahabat.
Di antara pondasi Ahli Sunah Wal Jama’ah adalah komitmen dengan apa
yang telah ditempuh para sahabat dan menjadikan mereka panutan setelah
Rasulullah saw. Mereka adalah manusia terbaik setelah nabinya. Sehingga
wajar jika Rasul saw bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah masa-ku, kemudian generasi yang datang sesudahnya, kemudian generasi yang datang sesudahnya…(HR. Bukhari).
Juga wajar jika Allah telah ridha kepada mereka, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan
yang besar.” (At Taubah: 100).
Belum lagi jika kita mengkaji pernyataan para ulama baik dari
kalangan sahabat maupun generasi-generasi berikutnya. Maka kita akan
mendapatkan betapa agungnya ungkapan mereka dalam memuji sahabat. Ibnu
Mas’ud berkata:
“Barang siapa yang ingin mengambil contoh maka
ambillah dari orang yang sudah meninggal. Karena orang yang masih hidup
belum tentu aman dari fitnah. Mereka (yang harus dicontoh) adalah para
sahabat Rasulullah saw…”.(atsar ini dinukil dari Minhajus Sunnah, 2/77).
Imran bin Hussein berkata: “Ambilah agama kalian dari kami (para
sahabat). Demi Allah, jika kalian tidak melakukannya pasti akan
tersesat.”
Dengan demikian, kalangan Ahli Sunnah sangat memuliakan sahabat. Hal
ini berbeda dengan kalangan Ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu. Mereka
jauh dari sahabat, mencela dan bahkan menghujat sahabat. Sikap mereka
hanya semakin menjauhkan diri mereka dari kebenaran dan mengakibatkan
mereka semakin tersesat. Sungguh benar apa yang dinyatakan Imran bin
Hussein!.
Imam Syafi’i berkata:
“Mereka (para sahabat) berada di atas kita
baik dari segi ilmu, fikih, agama maupun hidayah. Pendapat mereka untuk
kita jauh lebih baik dari pada pendapat kita untuk diri kita sendiri.” (I’lamul Muwaqqi’in, 1/80).
Dalam mengomentari pernyataan Imam Syafi’i, Ibnul Qayyim berkata:
“Salah
seorang dari mereka mengemukakan pendapat kemudian turun Al Qur’an
dalam rangka menyetujui pendapatnya. …Bagaimana tidak, pendapat mereka
bersumber dari hati yang penuh dengan cahaya, iman, hikmah, ilmu,
wawasan, dan pemahaman tentang Allah, Rasul serta nasihat bagi umat.
Hati mereka selalu dekat dengan hati Nabi, di antara keduanya tidak ada
perantara. Mereka mengambil ilmu dan iman dari lentera kenabian…”. (untuk lebih lengkapnya silahkan lihat I’lamul Muwaqqi’in, 1/81,82).
Para sahabat telah meninggalkan ‘kekayaan’ yang sangat berharga bagi
generasi sesudahnya baik berupa perkataan maupun sikap dalam masalah
akidah, fikih, akhlaq dan dakwah.
Perkataan Sahabat Umar bin Khattab ra.Beliau berkata:
“Jika
bukan karena tiga hal, aku ingin segera bertemu dengan Allah: Jika
bukan karena berjalan di jalan Allah (jihad), atau bukan karena aku
meletakan jidatku di atas tanah sambil bersujud (shalat), atau duduk
bersama sekelompok orang yang sedang memetik perkataan yang baik
sebagaimana dipetiknya buah yang baik (menuntut ilmu).” (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf , 13/272).
Dalam mengomentari pernyataan Umar radhiallahu ‘anhu, Ibnu Taimiyah
berkata: “Pernyataan Umar merupakan pernyataan yang sangat sempurna dan
integral. Beliau merupakan sosok yang mendapat ilham. Setiap kalimat
dari pernyataannya mengumpulkan banyak ilmu seperti tiga hal yang
disebutkan tadi. Beliau menyebut jihad, shalat dan ilmu. Sudah merupakan
kesepakatan ulama bahwa ketiga hal tersebut merupakan amalan yang
paling utama. Ahmad bin Hambal berkata: “Sebaik-baik amalan yang
dipersembahkan seorang hamba adalah jihad”. Imam Syafi’i berkata:
“Sebaik-baik amalan yang dipersembahkan seorang hamba adalah shalat”.
Sementara Abu Hanifah dan Malik berpendapat: “ilmu”.
Setelah diteliti bahwa setiap dari ketiga hal tersebut saling
berkaitan dengan yang lainnya. Dalam satu kondisi bisa jadi yang ini
lebih utama dan dalam kondisi lain yang ini justru lebih utama.
Sebagaimana Nabi saw dan para khalifahnya melakukan yang ini (jihad),
kadang mereka melakukan ini (shalat) dan kadang yang ini (ilmu).
Keutamaan amalan itu tergantung pada tempat, kondisi dan maslahatnya.
Sementara Umar telah mengumpulkan itu semuannya.” (Minhajus Sunnah,
6/75).
Dengan demikian, di tempat tertentu dan dalam kondisi tertentu jihad
bisa menjadi lebih utama. Kalangan yang negrinya terjajah oleh kaum
kuffar, mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menuntut ilmu karena
kondisinya serba terancam. Maka bagi mereka jihad defensif adalah lebih
utama dari yang lainnya. Hal ini seperti yang terjadi di Iraq,
Palestina, Chechnya dan negara lainnya yang terjajah.
Kemudian apakah mereka yang berjihad di sana mengharuskan meminta
fatwa kepada ulama yang ada di luar negaranya? Permasalahan ini pernah
di jawab oleh Prof. DR. Muhamad bin Abdullah bin Ali Al Wuhaibi (Mantan
Ketua Jurusan Tsaqofah Islam Universitas Malik Su’ud). Beliau
mengatakan, “Bukan suatu keharusan meminta fatwa kepada ulama luar.
Karena yang lebih paham dengan kondisi yang ada di negaranya adalah
mereka, penduduk negeri tersebut.” Dan masih banyak ulama lain yang
mendukung perjuangan mujahidin baik ulama yang ada di Saudi, Sudan,
Palestina, Mesir, Yordan, Indonesia dan ulama berbagai negeri lainnya.
Maka wajar jika dalam suatu kesempatan, ketika Rasulullah ditanya
amalan apakah yang paling utama? Maka beliau pun menjawab: “Jihad”.
Dalam kesempatan lain beliau menjawab: “Shalat tepat waktu.” Begitu pula
dengan sikap Ibnu ‘Uyainah yang lebih memilih mengajarkan Al Qur’an
dari pada berjihad mengangkat pedang.[1]
Ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw,
“Tunjukanlah
kepadaku amal yang setara dengan jihad? Beliau menjawab: “Aku tidak
menemukan”. Kemudian beliau bersabda: “Apakah kamu sanggup, jika seorang
mujahid pergi (ke medan perang), bahwa kamu masuk ke masjidmu lalu kamu
mengerjakan shalat malam tanpa henti dan berpuasa tanpa berbuka? Orang
tersebut menjawab, “Siapakah yang sanggup melakukan hal itu? (HR. Nasa’i dan semakna dengan hadits ini adalah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim).
Namun dalam kondisi tertentu dan di tempat tertentu menuntut ilmu dan
mengajarkannya adalah lebih utama, sebagaimana pernyataan Ibnu
‘Uyainah. Hal ini pun pernah diutarakan oleh DR. Muhamad Al Wuhabi,
“Bisa jadi di negara tertentu justru menuntut ilmu dan mengajarkannya
adalah lebih utama. Maka tidak semua orang alim harus pergi berjihad
sementara di negaranya banyak kebodohan, kesesatan, kemusrikan dan ia
pun sangat dibutuhkan di negaranya”.
Tahapan-tahapan Jihad
Bagi kalangan yang belum diberi kesempatan untuk berjihad, maka tidak
ada salahnya jika merenungkan pernyataan Sekjen Asosiasi Fuqaha Amerika
Prof. DR. Salah Shawi. Beliau menjelaskan beberapa tahapan yang harus
dilakukan, di antaranya:
Pertama: Mempersiapkan keyakinan dan keimanan secara
benar (salah satunya dengan menuntut ilmu). Ini artinya pentingnya
mendidik mereka menjadi sosok yang paham Islam. Menghidupkan ilmu syar’i
secara benar dan memperbaharui syi’ar dan syariat Islam. Karena pada
saat ini umat mewarisi pemahaman yang keliru seputar ajaran Islam.
Kebodohan seperti inilah yang mengakibatkan kita mengenyam kesengsaraan
dan penderitaan.
Kedua: Persiapan dalam menyatukan suara dan barisan
(dengan berdakwah). Sebagaimana firman Allah:” Janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu”. QS. Al Anfal: 8
Bukan rahasia lagi apa yang diderita
umat saat ini, yang mana kalangan pergerakan Islam masa kini berselisih,
berpecah dan gontok-gontokan. Cukuplah kita mengambil pengalaman dan
pelajaran yang pahit dan pedih dalam peperangan Afganistan.
Ketiga: Persiapan kekuatan (I’dad Quwwah).
Dalam
permasalahan ini, anda bisa memahami bagaimana jerih payah para dai,
murobbi dan muslih. Ini sebenarnya merupakan salah satu mata rantai
dalam rangka menghidupkan umat dan bagian dari pada persiapan dalam
rangka menegakan jihad. Jika ada yang belum mengetahui makna ini maka
bisa jadi dikarenakan kelalaiannya atau salahnya pemahaman.” (Kumpulan
Fatwa Shalah Shawi).
Benarlah komentar Ibnu Taimiyah, “Keutamaan amalan itu tergantung
pada tempat, kondisi dan maslahatnya. Sementara Umar telah mengumpulkan
semuanya.” (Minhajus Sunnah, 6/75).
Dengan demikian, sudah selayaknya masing-masing kelompok untuk
menahan diri dan mengenal tugasnya masing-masing. Yang diberi peluang
untuk berjihad tidak melabel para penuntut ilmu dan ulamanya dengan
qooiduun (orang yang duduk-duduk saja). Begitu pula sebaliknya para
penuntut ilmu tidak memberikan label kepada para mujahid dengan
khawarij, teroris, mati konyol dan berbagai label negatif lainnya.
Ketika
Ibnu Mubarak mendengarkan seseorang melakukan ghibah terhadap
saudaranya, beliau bertanya: “Pernahkah kamu memerangi orang-orang
Romawi? Dia menjawab:”Tidak.” Pernahkah kamu memerangi orang-orang
Persia? Dia menjawab: “Tidak”. Beliau berkata: “Telah selamat dari
ucapanmu orang-orang Romawi dan Persia. Sementara saudaramu tidak
selamat dari lisanmu.”
Adakah mujahid Ahli Sunnah saat ini?Permasalahan
ini pernah diajukan kepada Prof. DR. Muhamad Al Wuhaibi. Setelah
menyebutkan Izuddin Al Qassam, Umar Mukhtar dan yang lainnya (penulis
lupa namanya) ke dalam deretan mujahid Ahli Sunnah. Beliau menjelaskan,
“Kita melihat Mayoritas Mujahid Ahli Sunnah saat ini ada di Iraq,
Palestina, Checnya dan negara lainnya.”
Wallahu a’lam bisshawab.
Ditulis Oleh: Abu Mazin, Lc.